TUGAS PPKN WIJI THUKUL SANG PENYAIR DEMONSTRAN
KATA
PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah swt karena atas rahmatNYAlah saya
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “wiji thukul sang penyair demonstran”
tepat pada waktunya.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah pendidikan pancasila di
jurusan dahasa dan sastra indonesia IKIP WIDYA DHARMA SURABAYA.
Tidak
lupa saya berterimakasih kepada pihak pihak nara sumber yang memberi informasi
untuk penyusunan makalah ini.
Semoga
makalah ini bermanfaat khususnya untuk saya ,umumnya untuk pembaca. Kritik dan
saran saya nantikan demi perbaikan makalah dalam masa mendatang
Surabaya september 2016
A. LATARBELAKANG
Dalam makalah ini saya hanya akan memaparkan mengenai wiji thukul penyair demonstran yang meliputi
Tentang wiji thukul
Demokrasi
Ordebaru dan pnyimpangan demokrasi
B. MANFAAT
Makalah ini memaparkan tentang pengertian , demokrasi dan penyimpangan demokrasi pada masa orde baru
C. TUJUAN
Memenuhi tugas yang diberikan dosen sebagai bahan presentasi dalam mata kuliah pendidikan pancasila Agar saya dan pembaca dapat memahami mengenai WIJI THUKUL SANG PENYAIR DEMONSTRAN
PEMBUKA
Wiji Thukul
dan Kata-kata yang Tak Pernah Binasa
Lewat jalan
panjang dan berdarah, Wiji Thukul mendobrak pintu kebebasan berbicara. Meski
tak tahu kini dimana rimbanya, kata-katanya selalu hidup dalam sejarah. Opini
Lilik Hs.
Agustus 2016, Wiji Thukul berulangtahun ke-53. Ingatan saya melayang pada
momentum Agustus, 1995, ketika sekujut negari tengah gegap-gempita merayakan 50
Tahun Indonesia Emas, Thukul membuat panggung acara 50 Tahun Indonesia Emas di
depan rumahnya, dimana ia dirikan Sanggar Suka Banjir.Ada pentas drama, nyanyi, baca puisi dan lomba menggambar anak-anak. Tiba-tiba serombongan tentara datang mengepung rumahnya. Panggung sederhana itu pun diobrak-abrik. Karya cukil kayu dan hasil gambar anak-anak dirampas paksa. Thukul tak terima, ia menolak dibawa paksa. Ia melawan sambil terus membaca puisi. Kendati, akhirnya tubuh cekingnya diringkus dan diseret ke kantor polisi.
Peristiwa itu terjadi lebihd ari dua dekade silam. Agustus 2016, ada selarik kabar gembira. Istirahatlah Kata-kata, film yang memotret penggalan hidup Wiji Thukul diputar dalam forum Locarno Internasional Film Festival, Swiss.
Sajaknya, hanya berisi dua larik kalimat, yang dibacakan dalam film ini: „kemerdekaan adalah nasi, dimakan jadi tai,“ ditulis dan dibacakan pada acara kemerdekaan di kampungnya pada Agustus 1982.
Masih di bulan Agustus, tanggal 30 merupakan Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional. Peringatan ini ditujukan untuk mengingatkan publik akan nasib orang-orang yang ditahan dan dihilangkan secara paksa. Ya, Thukul-lah salah seorang di antaranya, yang hilang menjelang reformasi 1998.
BAB I
WIJI THUKUL
Lahir
|
|
Meninggal
|
Menghilang
pada 27 Juli 1998
|
Pekerjaan
|
Sastrawan,
aktivis
|
Pasangan
|
Siti Dyah
Sujirah
|
Anak
|
Fitri
Nganthi Wani, Fajar Merah
|
WiJi Thukul yang merupakan penyair sekaligus
aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo
(lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963 – meninggal di tempat dan waktu yang tidak
diketahui, hilang sejak diduga diculik, 27 Juli 1998 pada umur 34 tahun) adalah sastrawan dan aktivis hak
asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang
ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya,
dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer[1].
Keluarga
Thukul,
begitu sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari
keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang
penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual
ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.[2]
Thukul Mulai
menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia
teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan
kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di
sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan
istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh.[3]. Tak lama semenjak pernikahannya,
Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani,
kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang
diberi nama Fajar Merah.[2]
Pendidikan
Thukul
pernah bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari.[2]. Thukul memutuskan untuk berhenti
sekolah karena kesulitan keuangan. [4]
Aktivitas
Kendati
hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan
anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994,
terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin
massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.
· Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan
oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
· Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada
mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
·
Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah
seorang dari belasan aktivis yang hilang.
· April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang
ke Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
· Forum Sastra Surakarta (FSS) yang
dimotori penyair Sosiawan
Leak dan Wowok
Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul
berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto,
Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Penyebab hilangnya Thukul
Kerusuhan pada Mei 1998 telah menyeret beberapa nama
aktivis kedalam daftar pencarian aparat Kopassus Mawar.[2]. Diantara para aktivis itu adalah
aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER, pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang mengilang terhitung sejak
bulan April hingga Mei
1998. [2]. Semenjak bulan Juli 1996, Thukul
sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain
untuk bersembunyi dari kejaran aparat.[2]. Dalam pelariannya itu Thukul tetap
menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang salah satu di antaranya
berjudul Para Jendral Marah-Marah.[2]. Pada tahun 2000, Sipon melaporkan
hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini.[2]
Korban penculikan
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di
Jakarta pada April 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.
Karya
Ada tiga
sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan,
Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi
"Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici,
Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh
kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif
Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
- Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain
- Puisi: Bunga dan Tembok[5]
- Puisi: Peringatan
- Puisi: Kesaksian [1]
Prestasi dan penghargaan
- 1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.
- 1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; PusatKebudayaan Belanda, Jakarta).
- 1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra.
- 2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002"
- 2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.
BAB II
Demokrasi.
Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan di mana
semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang
dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa
Yunani δημοκρατία
(dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[1] yang terbentuk dari δῆμος (dêmos)
"rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau
"kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie)
"kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling
bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.[2] Sistem politik Athena Klasik,
misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan
tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua
pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan
demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian
besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak
suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah
ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.
Suatu pemerintahan demokratis
berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang,
seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan
yang berasal dari filosofi Yunani ini[3] sekarang tampak ambigu karena
beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi,
oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai
sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada
kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan
mereka tanpa perlu melakukan revolusi.[4]
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi
hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan
keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi
langsung, yaitu
semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan
keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat
masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan
secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi
perwakilan. Konsep
demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Perancis
Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli
Abraham Lincoln
Demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
Charles Costello
Demokrasi
adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan
pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak
perorangan warga negara.
John L. Esposito
Demokrasi
pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya
berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi
pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif.
Hans Kelsen
Demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan
Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Di mana rakyat telah yakin,
bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam
melaksanakan kekuasaan Negara.
Sidney Hook
Demokrasi
adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting
secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat dewasa.
C.F. Strong
Demokrasi
adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari
masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin
pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya pada mayoritas
tersebut.
Hannry B. Mayo
Kebijaksanaan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana terjadi kebebasan
politik.
Merriem
Demokrasi
dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh
mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan
dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem
perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang
diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber
otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan
atau kesewenang-wenangan.
Samuel Huntington
Demokrasi
ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem
dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam
sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh
penduduk dewasa dapat memberikan suara
Bentuk-bentuk demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu
demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk
demokrasi di mana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan
suatu keputusan. Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam
memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap
keadaan politik yang terjadi. Sistem demokrasi langsung digunakan pada masa
awal terbentuknya demokrasi di Athena di mana ketika terdapat suatu
permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk
membahasnya. Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya
populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu
forum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi
yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu
untuk mempelajari semua permasalahan politik negara.
Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat
memilih perwakilan melalui pemilihan
umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi
mereka.
Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas
menyampaikan aspirasinya
dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya
negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia.[40]
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi
yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi".[41]
Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:[41]
- Kedaulatan rakyat;
- Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
- Kekuasaan mayoritas;
- Hak-hak minoritas;
- Jaminan hak asasi manusia;
- Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
- Persamaan di depan hukum;
- Proses hukum yang wajar;
- Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
- Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
- Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan
dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat
manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam
hubungan sosial.[42]
Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:[42]
- Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
- Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis Dalam
perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh
hampir seluruh negara
di dunia.
Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya
CIRI-CIRI PEMERINTAHAN DEMOKRASI
Adapun ciri yang menggambarkan suatu pemerintahan
didasarkan atas sistem demokrasi adalah sebagai berikut :
- Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak.
- Ciri Konstitusional, yaitu hal yang berkaitan dengan kepentingan, kehendak, ataupun kekuasaan rakyat dituliskan dalam konstitusi dan undang-undang negara tersebut.
- Ciri Perwakilan, yaitu dalam mengatur negaranya, kedaulatan rakyat diwakilkan oleh beberapa orang yang telah dipilih oleh rakyat itu sendiri.
- Ciri Pemilihan Umum, yaitu suatu kegiatan politik yang dilakukan untuk memilih pihak dalam permerintahan.
- Ciri Kepartaian, yaitu partai menjadi sarana / media untuk menjadi bagian dalam pelaksaan sistem demokrasi.
- Ciri Kekuasaan, adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan.
- Ciri Tanggung Jawab, adanya tanggung jawab dari pihak yang telah terpilih untuk ikut dalam pelaksaan suatu sistem demokrasi.
BAB III
ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang
merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan
dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini
terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
A. Latar belakang
Meski telah
merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil. Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih
labil karena ketatnya persaingan di antara kelompok-kelompok politik. Keputusan
Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah
kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri Sebelum
sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30
September terjadi dan
mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[2]
Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]
B. Supersemar dan kebangkitan Soeharto
Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(Supersemar)
Di kemudian hari, Supersemar diketahui
memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi Presiden.
Orde Baru
lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian
menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan
kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran
Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang
Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[4] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat
pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul presiden
segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat
lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden.[4] Segera setelah mendapat izin, di
hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan
melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga memohon agar
Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi
permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk
mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas
pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini
sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan
Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[4]
Pemberangusan Partai Komunis
Indonesia
Letnan Jenderal Soeharto
Sebagai
tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat
keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau
senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat
dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal
12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan
karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal
18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30
September dan
diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal
18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet
Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30
September.[5] Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS juga
dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[6] Di DPRGR sendiri, secara total ada
62 orang anggota yang diberhentikan.[5] Soeharto juga memisahkan jabatan
pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi
diberi kedudukan sebagai menteri.[5]
Pada tanggal
20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:
·
Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga
Negara Tingkat Pusat dan Daerah.[7]
·
Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap.
MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.[7]
·
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan
Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.[7]
·
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di
Indonesia.[7]
Hasil dari
Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain
dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan
di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang
dipersenjatai.[8] Selain kader, ribuan pegawai
negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.[8] Sebagian diasingkan ke Pulau Buru,
sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.[9] Pada tanggal 30 September setiap
tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]
Pembentukan Kabinet Ampera
Dalam rangka
memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No.
XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[10] Tugas utama Kabinet Ampera adalah
menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama
Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan
Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
1.
memperbaiki
perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2.
melaksanakan
pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No.
XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3.
melaksanakan
politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4.
melanjutkan
perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Kabinet
Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan
yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno
kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang
mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan dengan kebijakan pemerintah
Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni
Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak
menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya
pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak
kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[10] Penyerahan ini tertuang dalam
Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20
Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas
Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan,
pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan
presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal
Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai
terjadinya penyerahan kekuasaan.[10] Namun, pemerintah tetap
berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan
tetap konstitusional.[10] Karena itu, diadakanlah Sidang
Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara
resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[10]
C. Kebijakan ekonomi
Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita)
Di awal
kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai
oleh rendahnya pendapatan
perkapita penduduk
Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai
65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir
pemerintahan Soekarno.[11]
Untuk
mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian
inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi,
dan pencukupan kebutuhan sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil
dengan pertimbangan apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai,
kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.[12]
Mulai tahun
1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan
pengembangan iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi
prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan, teknologi
pertanian, kebutuhan
pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu melalui
penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[12]
Repelita I
membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan
inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas
nasional, dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara
pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan
Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor
pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya
industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil
pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
Swasembada beras
Sejak awal
berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama
kestabilan ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah
pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian seperti irigasi dan
perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan
kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga yang diberi nama Bulog
(Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun
1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun 1962, misalnya, produksi
padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil ditingkatkan
tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan sebuah
prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
Pemerataan kesejahteraan penduduk
Pemerintah
juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan
penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan secara
konsekuen di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk
Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun
1990-an.[15] Pendapatan perkapita masyarakat
juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi
600 dolar per tahun pada tahun 1993.[14]
Pemerataan
ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[14] Dalam kurun waktu yang sama, angka
kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi
63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil
dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju
pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka
tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[14]
D. Penataan Kehidupan Politik
Dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[butuh rujukan]
· Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan
Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
· Pada tanggal 8 Maret 1966
mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30
September 1965.
Penyederhanaan
Partai Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada
masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan
penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan sosial
politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada
kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah:[butuh rujukan]
·
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai
Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
Penyederhanaan
partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upayamenciptakan
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang
terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan
ketidakseragaman persepsi serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum
tertinggi di Indonesia.
Pemilihan
Umum
Selama masa
Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[butuh rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan
pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 %
dengan perolehan 325 kursi di DPR dan PPP memperoleh 5,43 % dengan
perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI mengalami kemorosotan
perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan adanya
konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah
menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia
telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan
asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya,
Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu
Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan
Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR
didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru
presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban,
rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat
persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
Pada masa
Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya
organisasi politik terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal
dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI
karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara.
Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka
mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota
MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan
dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan ABRI sejak zaman
Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan
meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda.
Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari
perpecahan setelah Gerakan 30
September, yang
melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini
memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[16] Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.[16] Masuknya pendidikan sosial dan
politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi militer
berkurang.[16]
Secara
kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.[16] Saat itu, hanya ada 533.000
prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15
persen dari total populasi, sangat kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand
(0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan yang didapatkan ABRI pun
tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan
bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[16] Selain itu, peralatan dan
perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan
160 tank ringan.[16]
Pedomanan Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4)
Pada tanggal
12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya
pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui
penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal
dalam kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya
selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan
pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi
bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat
Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya
maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem
ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian)
yang tidak boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]
E. Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa
Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan.
MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada
kepentingan nasional, seperti pembangunan nasional, kemakmuran rakyat,
kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal
28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan
pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi
anggota pada tahun 1955-1964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi
anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB
sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB
untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan
sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang
sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara
lain
Pemulihan
Hubungan dengan Singapura
Dengan
perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia
menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura
menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan
Indonesia.
Pemulihan Hubungan
dengan Malaysia
Penandatanganan persetujuan
normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia
Normalisasi
hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di
Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:[butuh rujukan]
· Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang
telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
· Pemerintah kedua belah pihak
menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
· Tindakan permusuhan antara kedua
belah pihak akan dihentikan.
Dan pada
tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan
Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan
Hubungan dengan RRT
Pada tanggal
1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan diplomatik
dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT telah
mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada Gerakan 30
September baik untuk
persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia
merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap
gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik Indonesia di
Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30
September di luar
negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui media massanya RRT telah melakukan kampanye
menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah Indonesia secara resmi
menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]
F. Penataan Kehidupan Ekonomi
Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
Untuk
mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan
pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:
· Memperbaharui kebijakan ekonomi,
keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
·
MPRS mengeluarkan garis program
pembangunan, yakni program penyelamatan serta program stabilisasi dan
rehabilitasi.
Program
pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi
berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus.
Rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana
ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana
yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah
yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:
· Mendobrak kemacetan ekonomi dan
memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan
terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
1.
Rendahnya
penerimaan negara.
2.
Tinggi dan
tidak efisiennya pengeluaran negara.
4.
Terlalu
banyak tunggakan hutang luar negeri.
5.
Penggunaan devisa
bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Untuk
melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru
menempuh cara:[butuh rujukan]
· Melaksanakan sistem pemungutan pajak
baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung
pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
· Menghemat pengeluaran pemerintah
(pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan
Negara.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi.
Pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok
naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat
terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta
asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga
bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan
pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha
memulihkan kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa
pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana
sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan
disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri
· Pertemuan Tokyo
Selain
mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7
miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk
dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan
negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia akan melakukan
usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk
membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku.
Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai
berikut:[butuh rujukan]
2.
Pembayaran
dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3.
Selama waktu
pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4.
Pembayaran
hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara
kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
· Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal
23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan
kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia).
Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya
guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta
persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping mengusahakan bantuan
luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan penangguhan
serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling)
hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui pertemuan tersebut
pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional
Setelah
berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan
melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
1.
Melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2.
Meningkatkan
kesejahteraan umum
3.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa
4.
Ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Pelaksanaan
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada
Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman
tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana
politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :[butuh rujukan]
1.
Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
2.
Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi.
3.
Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
1.
Pemerataan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2.
Pemerataan
memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3.
Pemerataan
pembagian pendapatan.
4.
Pemerataan
kesempatan kerja
5.
Pemerataan
kesempatan berusaha
6.
Pemerataan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan
kaum wanita.
7.
Pemerataan
penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8.
Pemerataan
kesempatan memperoleh keadilan.
· Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti
telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan
Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama
masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[butuh rujukan]
·
o
Pelita I
Pelita I
dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde
Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang
pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui
proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih
hidup dari hasil pertanian.[butuh rujukan]
·
o
Pelita II
Pelita II
mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya
pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan
memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil.
Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I
inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi
turun menjadi 9,5%.[butuh rujukan]
·
o
Pelita III
Pelita III
dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan] Pelaksanaan Pelita III masih
berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
·
o
Pelita IV
Pelita IV
dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian
untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung
pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
·
o
Pelita V
Pelita V
dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector
pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada
posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding
sebelumnya.
·
o
Pelita VI
Pelita VI
dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada
sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang
sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan
proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde
Baru.
G.Warga Tionghoa
Warga
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis
dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia
dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak
belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan
perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang
Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[butuh rujukan]
H.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Pada masa
Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan
"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik
laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[17] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam
pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh
ketidaksukaan terhadap para transmigran.
I. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde
Baru
ü Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai
lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
ü Sukses swasembada pangan
ü Pengangguran minimum
ü Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan
Lima Tahun)
ü Sukses Gerakan Wajib Belajar
ü Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua
Asuh
ü Sukses keamanan dalam negeri
ü Investor asing mau menanamkan modal
di Indonesia
J. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde
Baru
1.
Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
2.
Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot
ke pusat
3.
Munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua
4.
Kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5.
Bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
6.
Pelanggaran
HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7.
Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
9.
Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
10.
Tidak ada
rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11.
Menurunnya kualitas
birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara
pasti hancur.[butuh rujukan]
12.
Menurunnya
kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13.
Pelaku
ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh
swasta
14.
Dan lain
sebagainya
K.
Krisis finansial Asia
Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk
lebih jelas lihat: Krisis
finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir
dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.[butuh rujukan] Soeharto kemudian memilih sang
Wakil Presiden, B. J.
Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.
L. Pasca-Orde Baru
Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru,
untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya tokoh-tokoh penting
pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era
Pasca Orde Baru".
Meski
diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era
Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.[butuh rujukan] Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi
baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman
BAB IV
Penyimpangan Pada Masa Orde Baru
Jika anda memang benar orang
Indonesia, tentu anda akan mengenal dengan istilah orde lama, orde baru, atau
masa reformasi. Seiring dengan berkembangnya pemerintahan Indonesia, dimana
Negara kita mulai lepas dari kekangan penjajahan Jepang, Negara Indonesia mulai
mendirikan pemerintahannya sendiri. Pada masa awal pemerintahan sekitar tahun
1959 – 1965, masa pemerintahan di Indonesia ini disebut sebagai masa Orde Lama
atau bisa juga disebut Demokrasi Terpimpin. Kemudian di tahun 1966 sampai tahun
1998 masa pemerintahan Indonesia kembali berubah menjadi masa Orde Baru,
selanjutnya mulai tahun 1998 sampai sekarang masa pemerintahan menggunakan masa
atau Era Reformasi.
Perubahan atau penyebutan nama masa berdasarkan tahun tersebut bukan tanpa sebab, Orde baru ada karena pada masa sebelumnya (orde lama) terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan terhadap system pemerintahan maupun rencana yang telah ditentukan. Masa ini juga bisa disebut sebagai masa koreksian total atas penyimpangan yang dilakukan atau terjadi di masa orde lama, yakni masa dimana Soekarno menjadi presiden (orde baru terjadi pada masa pemerintahan Soeharto).
Masa orde baru ini (masa pemerintahan presiden Soeharto) terjadi dari tahun 1966 sampai tahun 1998, dalam jangka waktu atau masa orde baru tersebut perekonomian yang ada di Indonesia berkembang amat pesat. Meskipun ekonomi di Indonesia pada masa orde baru berkembang dengan pesat, namun praktik Korupsi semakin merajalela seiring dengan perkembangan ekonomi tersebut. Selain dari merajalelanya praktik korupsi, kesenjangan atau jarak antara si kaya dan si miskin semakin melebar.
Sama halnya dengan masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru ini juga memiliki berbagai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut diantaranya:
1. Merajalelanya penyakit yang umum ada di pemerintahan yakni penyakit KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
2. Pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak dijalankan secara merata, sehingga hal ini menyebabkan kesenjangan pembangunan yang terjadi antara pembangunan yang ada di pusat dan pembangunan yang ada di daerah. Hal tersebut terjadi karena kekayaan daerah yang ada tersedot sebagian besar ke pusat.
3. Akibat dari tidak meratanya pembangunan tersebut (kesenjangan pembangunan), banyak pihak yang merasa tidak puas terutama dari pihak Aceh dan Papua.
4. Terjadinya kecemburuan social antara penduduk pribumi dengan para transmigran yang datang, hal ini disebabkan para transmigran mendapatkan tunjangan yang cukup besar dari pemerintah pada awal tahun (tahun pertama)
5. Semakin bertambahnya kesenjangan Ekonomi (pendapatan) antara warga Miskin dengan warga yang kaya.
6. Terjadinya pelanggaran HAM terhadap masyarakat pribumi, terutama bagi warga Tionghoa.
7. Tidak adanya kebebasan berpendapat (dibungkamnya kritik serta oposisi yang diharamkan).
8. Tidak adanya kebebasan pers, pers sangat terbatas dalam mengajukan aspirasinya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya koran serta majalah yang dibrendel.
9. Keamanan dapat dilaksanakan dengan jalan menggunakan kekerasan, contohnya seperti ‘penembakan misterius’.
10. Tidak adanya rencana suksesi atau penurunan kekuasaan presiden ke presiden yang selanjutnya.
11. Terjadinya penurunan birokrasi di Indonesia, hal ini terjadi karena adanya prinsip “yang penting bapat senang”. Penyimpangan yang satu ini merupakan penyimpangan yang paling fatal yang terjadi selama masa orde baru, karena tanpa adanya birokrasi / system pemerintahan yang efektif Negara tentu akan emngalami kehancuran.
Meskipun orde baru terlahir sebagai penanganan yang terjadi terhadap penyimpangan yang terjadi pada masa orde lama, namun hal ini belum menentukan bahwa pada masa orde baru ini tidak akan terjadi penyimpangan kembali. Selama pemerintahan berjalan, tentu kesalahan mungkin dapat terus dilakukan
Perubahan atau penyebutan nama masa berdasarkan tahun tersebut bukan tanpa sebab, Orde baru ada karena pada masa sebelumnya (orde lama) terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan terhadap system pemerintahan maupun rencana yang telah ditentukan. Masa ini juga bisa disebut sebagai masa koreksian total atas penyimpangan yang dilakukan atau terjadi di masa orde lama, yakni masa dimana Soekarno menjadi presiden (orde baru terjadi pada masa pemerintahan Soeharto).
Masa orde baru ini (masa pemerintahan presiden Soeharto) terjadi dari tahun 1966 sampai tahun 1998, dalam jangka waktu atau masa orde baru tersebut perekonomian yang ada di Indonesia berkembang amat pesat. Meskipun ekonomi di Indonesia pada masa orde baru berkembang dengan pesat, namun praktik Korupsi semakin merajalela seiring dengan perkembangan ekonomi tersebut. Selain dari merajalelanya praktik korupsi, kesenjangan atau jarak antara si kaya dan si miskin semakin melebar.
Sama halnya dengan masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru ini juga memiliki berbagai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut diantaranya:
1. Merajalelanya penyakit yang umum ada di pemerintahan yakni penyakit KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
2. Pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak dijalankan secara merata, sehingga hal ini menyebabkan kesenjangan pembangunan yang terjadi antara pembangunan yang ada di pusat dan pembangunan yang ada di daerah. Hal tersebut terjadi karena kekayaan daerah yang ada tersedot sebagian besar ke pusat.
3. Akibat dari tidak meratanya pembangunan tersebut (kesenjangan pembangunan), banyak pihak yang merasa tidak puas terutama dari pihak Aceh dan Papua.
4. Terjadinya kecemburuan social antara penduduk pribumi dengan para transmigran yang datang, hal ini disebabkan para transmigran mendapatkan tunjangan yang cukup besar dari pemerintah pada awal tahun (tahun pertama)
5. Semakin bertambahnya kesenjangan Ekonomi (pendapatan) antara warga Miskin dengan warga yang kaya.
6. Terjadinya pelanggaran HAM terhadap masyarakat pribumi, terutama bagi warga Tionghoa.
7. Tidak adanya kebebasan berpendapat (dibungkamnya kritik serta oposisi yang diharamkan).
8. Tidak adanya kebebasan pers, pers sangat terbatas dalam mengajukan aspirasinya. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya koran serta majalah yang dibrendel.
9. Keamanan dapat dilaksanakan dengan jalan menggunakan kekerasan, contohnya seperti ‘penembakan misterius’.
10. Tidak adanya rencana suksesi atau penurunan kekuasaan presiden ke presiden yang selanjutnya.
11. Terjadinya penurunan birokrasi di Indonesia, hal ini terjadi karena adanya prinsip “yang penting bapat senang”. Penyimpangan yang satu ini merupakan penyimpangan yang paling fatal yang terjadi selama masa orde baru, karena tanpa adanya birokrasi / system pemerintahan yang efektif Negara tentu akan emngalami kehancuran.
Meskipun orde baru terlahir sebagai penanganan yang terjadi terhadap penyimpangan yang terjadi pada masa orde lama, namun hal ini belum menentukan bahwa pada masa orde baru ini tidak akan terjadi penyimpangan kembali. Selama pemerintahan berjalan, tentu kesalahan mungkin dapat terus dilakukan
Bentuk- Bentuk
Penyimpangan
Bentuk- Bentuk Penyimpangan Terhadap UUD 1945 dari Masa Orde Lama Sampai UUD
S 1945Penyimpangan pada awal kemerdekaan banyak, antara lain:
1. Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi KNIP dari pembantu menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislative dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya DPR, MPR, dan DPA.
2. Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ada begitu banyak penyimpangan konstitusi. Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Lama, misalnya:
1. Kekuasaan Presiden dijalankan secara sewenang-wenang, hal ini terjadi karena kekuasaan MPR, DPR, dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh Presiden.
2. MPRS menetapkan Oresiden menjadi Presiden seumur hidup, hal ini tidak sesuai dengan ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
3. Pimpinan MPRS dan DPR diberi status sebagai menteri, dengan demikian, MPR dan DPR berada dibawah Presiden.
4. Pimpinan MA diberi status menteri, ini merupakan penyelewengan terhadap prinsip bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka.
5. Presiden membuat penetapan yang isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat bersama DPR), dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya.
6. Pembentukan lembaga negara yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu, Front Nasional.
7. Presiden membubarkan DPR; padahal menurut konstitusi, Presiden tidak bisa membuabarkan DPR.
Sedangkan, bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara lain:
1. Terjadi pemusatan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter.
2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga Presiden terus menerus dipilih kembali.
4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila, ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
5. Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
6. Pemerintahan campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7. Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
8. Terjadi Korupsi Kolusi Napolisme (KKN) yang luar biasa parahnya sehingga bisa merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multimensi.
Pada Periode 1959-1966
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1. Presiden mengangkat Ketua dan Wakil ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
2. MPRS menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
3. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Pada Periode 1966-1998
Terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantarnya:
1. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lainmenyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
PENUTUP
§ KESIMPULAN
Agar embaca dapat sedikit mengerti dan mengetahui sejarah perpolitikan indonesia dari masa kemasa dan masalah masalah yang terjadi
§ SARAN
Agar lebih mengerti tentang dunia politik khususnya tentang demokrasi dan masa orde baru
DAFTAR PUSTAKA
·
Pengertian
dan ciri ciri demokrasi . http://www.softilmu.com/2015/01/Pengertian-Ciri-Macam-Macam-Demokrasi-adalah.html
.28.10.2016
·
Pengertia
orde baru . https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru
. 28.10.2016 28.10.2016
·
Prinsip
demokrasi . https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi#Prinsip-prinsip_demokrasi
28.10.2016
·
Tentang
wiji thukul . https://id.wikipedia.org/wiki/Widji_Thukul
.20.10.2016
·
Video
dan biografi wiji thukul . http://arifmaulans98.blogspot.co.id/2016/10/tentang-wiji-thukul.html
11.10.2016
Komentar
Posting Komentar