ANALISIS WACANA



ANALISIS WACANA

A. Pengertian Wacana
Wacana dalam bahasa inggris disebut discourse. Secara bahasa, wacana berasal dari bahasa Sansekerta “wac/wak/vak” yang artinya “berkata, berucap” kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ‘ana’ yang berada di belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna “membendakan”. Dengan demikian, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataaan atau tuturan.
Menurut kamus bahasa kontemporer, kata wacana itu mempunyai tiga arti. Pertama, percakapan; ucapan; tuturan. Kedua, keseluruhan cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar yang realisasinya merupakan bentuk karangan yang utuh.
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap diatas kalimat dan satuan gramatikal yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Sebagai satuan bahasa yang terlengkap, wacana mempunyai konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang dapat dipahami oleh pembaca dan pendengar. Sebagai satuan gramatikal yang tertinggi, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnnya. Persyaratan gramatikal dalam wacana ialah adanya wacana harus kohesif dan koherens. Kohesif artinya terdapat keserasian hubungan unsur-unsur dalam wacana. Sedangkan koheren artinya wacana tersebut terpadu sehingga mengandung pengertian yang apik dan benar. Wacana yang koherens tetapi tidak kohesif sepeti contoh:
Andi dan budi pergi ke hitec-mall, dia ingin membeli laptop.
Contoh tersebut tidak tidak kohesif karena kata dia tidak jelas mengacu kepada siapa, kepada Andi atau Budi, atau kepada keduanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa wacana yang baik adalah wacana yang kohesif dan koherens.
Selain wacana sebagai satuan bahasa terlengkap diatas kalimat dan satuan gramatikal tertinggi dalam hierarki gramatikal, masih banyak lagi pengertian lain tentang wacana. Lubis mendefinisikan bahwa wacana adalah kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis, atau diucapkan, atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Sementara White mengartikan wacana adalah dasar untuk memutuskan apa yang akan ditetapkan sebagai suatu fakta dalam masalah-masalah yang akan dibahas dan dasar untuk menentukan apa yang sesuai untuk memahami fakta-fakta sebelum ditetapkan, dimana White dalam hal ini lebih melihat wacana sebagai sebab daripada sebagai akibat.
Analisis wacana adalah ilmu yang baru muncul beberapa puluh tahun belakangan ini, sebelumnya aliran-aliran linguistik hanya membatasi penganalisaannya pada sosial kalimat saja, namun belakangan ini barulah para ahli bahasa memalingkan perhatiannya pada penganalisaan wacana.
Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Melalui analisis wacana, kita tidak hanya mengetahui isi teks yang terdapat pada suatu wacana, tetapi juga mengetahui pesan yang ingin disampaikan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana pesan-pesan itu tersusun, dan dipahami. Analisis Wacana akan memungkinkan untuk memperlihatkan motivasi yang tersembunyi di belakang sebuah teks atau di belakang pilihan metode penelitian tertentu untuk menafsirkan teks.
Objek kajian atau penelitian analisis wacana pada umumnya berpusat pada bahasa yang digunakan sehari-hari, baik yang berupa teks maupun lisan. Jadi objek kajian atau penelitian analisis wacana adalah unit bahasa diatas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan dan konteks yang eksis dikehidupan sehari-hari, misalnya naskah pidato, rekaman percakapan yang telah dinaskahkan, percakapan langsung, catatan rapat, dan sebagainya, dan pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara konteks-konteks yang terdapat dalam teks. Pembahasan itu bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterances) yang membentuk wacana.
B. Jenis Wacana
Jenis wacana dibedakan sesuai dengan sudut pandang wacana tersebut itu dilihat. Jika dilihat dari tujuannya, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulis. Dilihat dari penggunaan bahasanya, wacana dibedakan menjadi wacana prosa dan wacana puisi.
Sedangkan dilihat dari penyampaian isinya, wacana dibedakan menjadi:
1. Narasi, bersifat mencerminkan suatu topik atau hal.
2. Eksposisi, bersifat memaparkan topik atau fakta.
3. Persuasi, bersifat mengajak, menganjurkan, atau melarang.
4. Argumentasi, bersifat memberi argumen atau alasan terhadap suatu hal.
C. Teori Wacana
1. Teori Wacana Bakhtinian
Bakhtin dan kawan-kawan cenderung memahami wacana sebagai tuturan, yaitu pertalian antara suara penutur dengan suara orang lain yang terimplikasi dalam tuturan penutur itu. Bakhtin dan kawan-kawan membuat beberapa tipologi wacana sebagai berikut:
Pertama, Wacana Linear, adalah wacana yang memandang wacana lain hanya dalam sebuah garis besar dengan batas-batas eksternal yang jelas dengan meminimalkan individualitas internalnya. Contoh dalam wacana ini adalah puisi. Puisi cenderung menenggelamkan aneka suara dalam satu kesatuan suasana, yaitu suasana penutur. Tuturan lain dalam puisi direduksi sedemikian rupa sehingga yang tersisa hanya garis besarnya saja.
Kedua, Wacana piktural, adalah wacana yang dengan tangkas dan halus dapat menerobos wacana lain, baik dalam bentuk komentar maupun ejekan. Seperti contoh wayang. Dalam wayang, dalang dapat memberikan komentar dan penilaian terhadap tokoh-tokohnya, dan sebaliknya, tokoh-tokoh dapat melakukan protes terhadap dalang.
Ketiga, Dalam hal ini Bakhtin dankawan-kawan membangi wacana menjadi dua jenis, yaitu Wacana Satu-Suara dan Wacana Suara-Ganda, Wacana Satu-Suara meliputi wacana linear dan wacana piktural. Sedangkan Wacana Suara-Ganda meliputi Stilisasi, Skaz, Parodi, dan Polemik terselubung.
2. Teori Wacana Althusser
Teori wacana Althusser, wacana cenderung dipahami sebagai ideologi dalam praktik. Tak ada ideologi tanpa wacana, dan tak ada wacana tanpa ideologi. Ideologi yang tidak mewujud secara material, tanpa subjek dan untuk subjek, hal itu akan kehilangan fungsinya. Lebih jauh lagi, sesuai teori Marxis, wacana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari formasi sosial yang ada, formasi sosial yang terbangun dari dua atau lebih kelas sosial yang saling bertentangan, terlibat dalam pertentangan dan pertarungan kelas dengan ideologinya masing-masing.
D. Perspektif Wacana
Menurut A.S Hikam, ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa:
Pertama, Pandangan positivisme-empiris;
Penganut aliran ini melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala aatau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan seemantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis (tata bahasa) adalah bidang utama dari aliran positivisme tentang wacana.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, titik perhatian utama aliran positivisme didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Istilah yang sering disebut adalah kohesi dan koherensi. Wacana yang baik selalu mengandung kohesi dan koherensi di dalamnya. Kohesi merupakan keserasian hubungan antar unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koherensi merupakan kepaduan wacana sehingga membawa ide tertenti yang dipahami oleh khalayak.
Kedua, Pandangan konstruktivisme;
Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang memisahkan subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap bahwa subjek adalah faktor utama atau faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.
Dalam hal ini, A.S Hikam mengatakan bahwa, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa yang dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan dalam pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jatidiri dari sang pembicara.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis yang membongkar makna dan maksud-maksud tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang memngemukakan suatu pernyataan.pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
Ketiga, Pandangan kritis.
Pandangan ingin mengoreksi pandangan pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun secara institusional. Menurut A.S Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inhern dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.hal inilah yang melahirkan paradigma kritis.
Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada pandangan konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiran-pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang adal dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setuap proses bahasa seperti, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, (paradigma) analisis wacana yang ketiga ini sering juga disebut Critical Discourse Analysis/CDA.
E. Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis (AWK) adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Lukmana, Aziz dan Kosasih mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini.
Teun Van Dijk mengemukakan bahwa AWK digunakan untuk menganalisis wacana-wacana kritis, diantaranya politik, ras, gender, kelas sosial, hegemoni, dan lain-lain.
Selanjutnya Fairclough dan Wodak meringkas tentang prinsip-prinsip ajaran AWK sebagai berikut:
1) Membahas masalah-masalah sosial
2) Mengungkap bahwa relasi-relasi kekuasaan adalah diskursif
3) Mengungkap budaya dan masyarakat
4) Bersifat ideologi
5) Bersifat historis
6) Mengemukakan hubungan antara teks dan masyarakat
7) Bersifat interpretatif dan eksplanatori
Dengan demikian, analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan. Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah.
Sedangkan karaktektistik AWK diantaranya adalah:
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks .
3. Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
4. Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.
5. Ideologi
Dalam pandangan kritis, wacana di¬pandang sebagai praktik ideologi, atau pen¬cerminan dari ideologi tertentu. Ideo¬logi yang berada di balik penghasil teks¬nya akan selalu me¬warnai bentuk wacana tertentu. Penghasil teks yang berideologi liberalisme atau sosia¬lisme tentu akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter sendiri-sendiri. Dua catat¬an penting yang berkenaan dengan ideologi dalam wacana. Pertama, ideo¬logi secara in¬heren bersifat sosial, tidak personal atau individu. Ideologi akan selalu mem¬butuh¬kan anggota kelompok, ko-munitas, atau masya¬rakat yang me¬matuhi dan mem¬perjuangkan ideologi itu. Kedua, ideologi digunakan se¬cara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Ideo¬logi selalu me-nyedia¬kan jawaban tentang identitas kelompok.
Dari paparan tersebut itu dapat diperoleh pe¬mahaman bahwa analisis wacana tidak bisa lagi menempatkan bahasa dalam sistem ter¬tutup, tetapi harus menempatkannya dalam konteks. Analisisnya akan selalu meng¬ungkap bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada, ber¬peran dalam mem¬bentuk wacana .
F. Pendekatan Analisis Wacana Kritis
Beberapa pendekatan yang umum digunakan dalam analisis wacana kritis, antara lain adalah:
a. Pendekatan Linguistik Kritis (Crticical Linguistic)
Pendekatan lingusitik kritis me¬nekankan analisisnya pada bahasa dalam kait¬annya dengan ideologi. Dalam hal ini, ideologi ditelaah dari sudut pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan, dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai.
b. Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis)
Pen¬dekat¬an Perancis berasumsi bahwa bahasa adalah medan pertarungan kekuasaan. Melalui makna yang diciptakan dalam wacana, berbagai kelompok saling berupaya me¬nanam-kan keyakinannya dan pemahamannya kepada kelompok lain. Melalui kata dan makna yang diciptakan mereka melakukan pertarungan, ter¬masuk kekuasaan untuk menentukan dan mengukuhkan posisi dominasi kuasa pada yang lain. Dalam pendekatan ini bahasa dan ideologi bertemu pada pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa pada ideologi. Keduanya, kata yang digunakan dan maknanya memposisikan orang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah pertarungan wacana melalui mana suatu kelompok sosial atau kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Sara Mills dengan perspektif feminisnya.
c. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)
Pendekatan ini dikembangkan oleh Teun Van Dijk yang menitikberatkan pada masalah etnis, rasialisme dan pengungsi. Pendekatan ini disebut sebagai kognisi sosial, karena ia melihat faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Oleh karena itu, menurut pen¬dekat¬an ini analisis wacana dapat digunakan untuk mengetahui posisi sosial kelompok-kelompok penguasa/dominan dan kelompok marjinal.
d. Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)
Pendekatan ini memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial. Dengan demikian ada hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat dalam situasi, isntitusi dan kelas sosial tertentu. Pendekatan perubahan sosial memandang wacana sebagai praktik ke¬kuasaan. Menurut pendekatan ini wacana mempunyai tiga efek dalam perubahan sosial, yaitu (a) memberi andil dalam mengkonstruksi identitas sosial dan posisi subjek, (b) memberi kontribusi dalam mengkonstruksi relasi sosial, (c) memberi kontribusi dalam mengkonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan.
e. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approaches)
Menurut pen¬dekatan kesejarahan, analisis wacana harus memperhatikan konteks kesejarahan. Wacana di sini disebut historis karena menurut Wodak, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan. Dalam paradigma kritis, media dipandang sebagai domain di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalisasi mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Karena media dikuasai oleh kelompok yang dominan, realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan palsu.
BAB III
KESIMPULAN:
1. Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap diatas kalimat dan satuan gramatikal yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Sedangkan analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.
2. Jenis wacana dibedakan sesuai dengan sudut pandang wacana tersebut itu dilihat. Jika dilihat dari tujuannya, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulis. Dilihat dari penggunaan bahasanya, wacana dibedakan menjadi wacana prosa dan wacana puisi. Sedangkan dilihat dari penyampaian isinya, wacana dibedakan menjadi Narasi, Eksposisi, Persuasi, dan Argumentasi.
3. Teori wacana, diantaranya adalah Teori Wacana Bakhtinian, yang memandang wacana menjadi tiga tipe, yaitu Wacana Linear, Wacana piktural, dan Wacana Satu-Suara atau Wacana Suara-Ganda, dan Teori wacana Althusser, yang cenderung memahami sebagai ideologi dalam praktik.
4. Menurut A.S Hikam, ada tiga pandangan analisis wacana, yaitu Pandangan positivisme-empiris, Pandangan konstruktivisme, dan Pandangan kritis.
5. Analisis wacana kritis (AWK) adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Karaktektistik AWK diantaranya adalah Tindakan, Konteks, Historis, Kekuatan, dan Ideologi.
6. Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah.
DAFTAR PUSTAKA:
Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-Prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005).
Salim, Peter, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 2002).
Chaer, Abdul , Linguistik Umum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007).
Djajasudarma, Fatimah, Wacana, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006).
Lubis, Akhyar , Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuan, (Bogor: Akademia, 2004).
Lubis, Hamid Hasan, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 1993).
Sobur, Alex , Analisis Teks Media Massa: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Simiotika dan Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002).
Jorgensen, Marianne W, Analisis Wacana: Teori dan Metode , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Aminuddin, dkk, Analisis wacana, (Yogyakarta: Kanal, 2002).
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2001).
Lukmana, dkk, Linguistik Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).
Wodak, Ruth , “Critical Dis¬course Ana¬lysis” dalam Teun Van Dijk (ed.) Dis¬course as Sosial Interaction: Dis¬course Studies a Multidisciplinary Intro¬duction, Vol 2. (London: Sage Publi-cation, 1997).
Santoso, Anang, Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-topik Kritis dalam Kajian Ilmu Bahasa. (Malang: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, 2006).
Fairclough, Norman, Media Discourse, (London: Edward Arnold, 1997).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DE SOEMATRA

MAKALAH JENIS BUNYI BAHASA DAN BUNYI VOKAL

TUGAS PPKN WIJI THUKUL SANG PENYAIR DEMONSTRAN